Manusia telah menghiasi diri dengan kalung sejak jauh sebelum peradaban besar pertama muncul. Menurut temuan arkeologis, manusia purba sudah membuat kalung dari cangkang kerang lebih dari 120.000 tahun yang lalu. Fosil kerang berumur 120 ribu tahun dari Gua Qafzeh di Israel, misalnya, ditemukan memiliki lubang alami dan goresan halus – tanda bahwa kerang-kerang itu pernah dirangkai pada seutas tali dan dikenakan sebagai perhiasan. Menariknya, sisa pigmen merah ochre turut ditemukan pada kerang tersebut, seolah menandakan upaya nenek moyang kita mempercantik perhiasan purba mereka dengan warna merah yang mungkin bermakna simbolis. Dari simpul kulit sederhana hingga kalung berlian mewah, aksesori leher ini sejak awal memang lebih dari sekadar hiasan – ia merekam status sosial, simbol spiritual, dan jati diri pemakainya sepanjang sejarah. Mari telusuri kisah panjang perjalanan kalung, dari artefak kuno hingga menjadi salah satu perhiasan favoritmu saat ini.
Kalung dan Jejaknya di Peradaban Kuno

Photo by The Met Museum
Broad collar of Senebtisi dari the Middle Kingdom era
Di peradaban kuno, kalung bukan hanya pemanis tetapi juga penanda status dan jimat pelindung. Perajin Sumeria di Mesopotamia, sekitar 4.500 tahun lalu, telah menemukan trik cerdik untuk membuat perhiasan yang megah tanpa boros bahan: mereka menempa emas hingga setipis foil lalu melilitkannya pada inti bitumen untuk membentuk manik-manik emas berongga. Hasilnya, kalung emas tampak besar dan mewah meski menggunakan logam minimal – bukti kecerdikan pengrajin di workshop kota Ur. Sementara itu di Mesir Kuno, khususnya pada Dinasti ke-12 (Era Middle Kingdom), muncul collar lebar dari emas dan bahan glasir batu (faience). Kalung model usekh atau broad collar ini dirangkai dari berlapis-lapis manik tabung maupun cakram, sering dihiasi batu warna-warni seperti lapis lazuli, carneol, dan pirus. Di kedua ujung kalung biasanya terdapat jepitan berornamen kepala elang atau simbol dewa.
Fungsi kalung pada masa Mesir Kuno melampaui keindahan semata. Masyarakat ketika itu percaya bahwa liontin atau jimat tertentu dapat mengusir marabahaya dan melindungi pemakainya. Liontin populer misalnya berbentuk Eye of Horus (mata Horus) atau ikan Nil, yang dikenakan sebagai jimat penolak bala sekaligus penanda status sosial pemiliknya. Berbagai jimat semacam itu ditemukan dalam situs makam di Mesir maupun peradaban kuno lain, menegaskan bahwa kalung sejak dulu berfungsi sebagai bahasa budaya lintas milenia – memadukan pernyataan gaya, kedudukan sosial, serta harapan akan perlindungan spiritual. Fun fact, sentuhan warna merah pada perhiasan (seperti lewat batu carneol atau pigmen ochre) tampaknya digemari sejak era kuno ini sebagai aksen mode dan simbol kekuatan.
Kalung dalam Dunia Klasik: Yunani, Romawi, hingga Bizantium

Photo by The Met Museum
Kalung Emas dari abad 4-3 SM
Memasuki era klasik, desain kalung kian beragam mengikuti kebudayaan yang dominan. Di Yunani Kuno, para pandai emas menghasilkan kalung-kalung emas rumit bak kanvas mini: rantai emas berhias liontin berfigur dewa atau motif alam, dihiasi batu mulia, serta teknik granulasi (butiran emas halus) yang membutuhkan keahlian tinggi. Gaya Hellenistik memperkenalkan kemewahan baru – kalung emas dengan detail daun anggur, dewa Eros mungil, atau kepala gorgon, semua ditatah dengan kehalusan luar biasa yang menunjukkan status elit pemakainya.
Sementara di kekaisaran Romawi, muncul tren torc – semacam kalung kaku melingkar dari logam tebal yang ujungnya berhias kepala hewan atau tombol. Torc ini tidak sembarang orang bisa memakainya; hanya kalangan terpandang seperti prajurit gagah atau bangsawan Celtic yang berhak mengenakan simbol status tersebut. Bahkan setelahnya, suku-suku Celtik mengadopsi torc sebagai penanda derajat tinggi dan kehormatan dalam tradisi mereka. Kalung torc dengan bentuk cincin kaku berpola pilin menjadi semacam mahkota bagi leher, melambangkan kekuasaan dan kekayaan pemakainya.

Photo by culture taste
Perhiasan era Bizantium
Begitu memasuki era Bizantium (Romawi Timur), gaya perhiasan leher berubah lebih megah dan “teatrikal” selaras dengan kemewahan istana Konstantinopel. Kalung model collier besar dibuat dari emas padat dan dijejali batu-batu permata mencolok – zamrud hijau, safir biru, amethyst ungu, hingga mutiara putih berkilau – dirangkai menjadi satu kesatuan laksana panggung mini yang berkilauan di dada. Desain Bizantium tak segan memamerkan kekayaan: liontin-liontin salib bertatah permata besar, untaian rantai emas berlapis, dan detail enamel berwarna menjadikan perhiasan era ini tampak semarak dan penuh simbol religius.
Lompatan teknologi metalurgi pada masa itu (seperti teknik cloisonné dan filigree rumit) turut berkontribusi menghasilkan ragam gaya yang berani. Kalung Bizantium pun berevolusi menjadi mahakarya seni kecil – semacam teater berjalan – yang menggambarkan status aristokrat sekaligus kesalehan pemakainya. Singkat kata, di tangan seniman Bizantium, kalung menjadi kanvas kemewahan spiritual yang mempertegas kekuatan sekaligus devosi.
Evolusi di Eropa: Renaissance hingga Era Victoria

Photo by master_jakobus on instagram
Renaissance Style Necklace inspired by Anna of Austria
Memasuki zaman Renaissance (abad ke-15–16), kalung kembali tampil menonjol sebagai simbol martabat dan kemakmuran kaum bangsawan. Gaya busana renaissance yang terbuka di garis leher memberikan ruang bagi kalung mewah untuk bersinar. Mutiara menjadi primadona pada era ini – butiran putih berkilau menghiasi leher para ratu dan putri, terlihat jelas dalam banyak lukisan potret bangsawan Renaissance. Sebut saja Ratu Elizabeth I di Inggris yang gemar memakai berlapis-lapis kalung mutiara di atas gaun megahnya. Mutiara melambangkan kemurnian sekaligus kemewahan, menjadikannya “bintang” dari perhiasan era tersebut. Kalung emas bertatah permata warna-warni juga populer, sering dipadukan dengan liontin salib atau locket berisi miniatur lukisan. Bagi kaum elit Renaissance, setiap kalung mengandung pesan: semakin kaya detail dan bahan berharga, semakin tinggi pula derajat sang pemakai di mata masyarakat.
Memasuki abad ke-18 (era Georgian hingga awal Victorian), pesta dansa malam hari menjadi panggung gemerlap bagi kalung-kalung spektakuler. Desain girandole atau pendeloque – yakni kalung dengan gantungan berlian berumbai tiga yang menjuntai – sangat digemari para wanita bangsawan Eropa. Di bawah temaram cahaya lilin, untaian berlian pada girandole akan berkilauan menari-nari, memikat setiap pasang mata.
Inovasi material pun berkembang: Paste (kaca timbal berbias tinggi) diciptakan sebagai tiruan berlian untuk perhiasan kostum; tortoiseshell (tempurung kura-kura) diukir sebagai elemen kalung bagi mereka yang ingin tampil unik. Lalu pada tahun 1725, tambang berlian besar ditemukan di Brazil, mengakhiri monopoli India. Melimpahnya pasokan “si batu ajaib” ini membuat perhiasan bertabur berlian lebih mudah diakses kaum aristokrat Eropa. Para permaisuri pun berlomba mengenakan kalung berlian terbesar. Napoleon Bonaparte bahkan menghadiahkan istrinya, Permaisuri Marie Louise, sebuah kalung spektakuler berisi 234 butir berlian dengan total 263 karat pada kelahiran putra mereka tahun 1811. Kalung bertabur berlian dalam rangka emas dan perak itu kini disimpan di Museum Smithsonian, AS, sebagai salah satu koleksi bersejarah sejak diserahkan pada 1962.
Contoh legendaris lain adalah Skandal Kalung Marie Antoinette pada 1785 – sebuah intrik penipuan melibatkan kalung berlian mewah seharga 2.000.000 livre (≈ Rp 133,3 miliar) yang mencoreng reputasi Ratu Prancis Marie Antoinette dan ikut mengguncang kepercayaan rakyat terhadap monarki. Peristiwa itu seolah membuktikan bahwa perhiasan leher pun bisa menyeret arus politik dan sejarah. Singkatnya, dari Renaissance hingga era Victoria, kalung berevolusi mengikuti selera zaman: kadang menjadi lambang keanggunan klasik, kadang menjadi sumber skandal yang menghebohkan. Namun yang pasti, kalung selalu merefleksikan perubahan budaya, teknologi, dan kekayaan pemakainya di setiap era.
Ikon Modern: Kalung yang Membuat Sejarah

Photo by la prairie
Hope Diamond di Smithsonian
Memasuki abad ke-20 hingga kini, sejumlah kalung tertentu menjadi ikon yang kisahnya melegenda dan bahkan mengubah narasi sejarah populer. Lihat saja Hope Diamond, berlian biru 45,5 karat yang kini terpasang pada sebuah kalung dan tersimpan di Smithsonian, Washington D.C. Kalung berlian biru ini terkenal seantero dunia bukan hanya karena nilainya yang fantastis – diperkirakan sekitar US$350 juta (sekitar Rp5,6 triliun) – tetapi juga karena mitos “kutukan”-nya yang konon menimpa pemiliknya. Alih-alih membuat orang takut, reputasi angker itu justru menjadikannya magnet wisata global; jutaan orang mengunjungi museum hanya untuk melihat kilau Hope Diamond dan mendengar kisah mistis di baliknya. Begitu pula skandal Marie Antoinette necklace yang telah disebut sebelumnya, terus dikenang melalui buku, film, hingga museum – mengingatkan kita betapa dahsyatnya dampak sebuah kalung dalam sejarah politik.

Photo Kim Bhasin on X
Attallah Cross yang pernah dipakai Princess Diana
Di era modern, kalung juga kerap dikaitkan dengan figur terkenal dan cerita yang melampaui nilai materialnya. Contoh terkini adalah Attallah Cross, kalung berliontin salib berhias amethyst dan berlian yang pernah dipakai oleh mendiang Princess Diana pada sebuah gala amal tahun 1987. Tiga dekade kemudian, kalung unik bertali panjang ini kembali mencuri sorotan publik setelah selebritas Kim Kardashian berhasil memenangkannya dalam lelang dengan harga £163.800 (sekitar $200.000, atau kira-kira Rp3,2 miliar). Pembelian itu mengejutkan banyak pihak dan memicu perbincangan – dari soal warisan mode Diana hingga kecenderungan selebriti modern mengoleksi benda bersejarah. Contoh lain, kalung mutiara legendaris milik Jacqueline Kennedy atau “Heart of the Ocean” fiksi dalam film Titanic (terinspirasi dari Hope Diamond) menunjukkan bagaimana kalung bisa menjadi ikon budaya populer. Lebih dari segalanya, baik kalung pria maupun wanita di masa kini telah menjelma penanda status dan identitas fashion lintas generasi. Setiap kalung ikonik membawa cerita dan statement tersendiri yang melampaui fungsi hiasan semata.
Tradisi & Simbolisme Global

Photo by cultures international
African beaded necklace
Kalung juga berbicara dalam bahasa tradisi dan spiritualitas di berbagai budaya global. Di banyak komunitas tradisional Afrika, misalnya, untaian manik-manik panjang bukan sekadar aksesoris pemanis penampilan. Kalung manik berwarna-warni tersebut merupakan bahasa visual penuh makna – menyimbolkan keindahan, kekuatan, hingga status pernikahan dan usia si pemakai. Suku Maasai di Tanzania dan Kenya, contohnya, memakai lempengan kalung manik lebar pada upacara penting; pola dan warnanya mengisahkan keberanian, energi, kesucian, atau status perkawinan perempuan yang mengenakannya. Demikian pula suku Ndebele di Afrika Selatan memiliki kalung manik tebal yang menunjukkan status pernikahan dan kekayaan keluarga. Setiap warna dan susunan manik punya arti – dari lambang kesuburan hingga penanda jumlah anak. Dengan demikian, di benua Afrika, kalung menjadi sarana menyampaikan cerita komunitas dan nilai-nilai yang dijunjung, menjadikannya simbol universal yang melintasi kata-kata.

Photo by onisi
Kalung filigree dari emas 18K
Beralih ke Asia, kita menjumpai tradisi filigree perak dan emas yang begitu indah dan rumit, terutama di Cuttack, negara bagian Odisha, India. Di kota yang dijuluki “Silver City” ini, lebih dari 100 keluarga pengrajin secara turun-temurun menggeluti seni menganyam logam mulia tersebut menjadi perhiasan luar biasa detailnya. Teknik filigree (disebut tarakasi dalam bahasa setempat) melibatkan penarikan perak/emas menjadi kawat sangat halus, kemudian melipat dan menenunnya menjadi motif-motif seperti jaring laba-laba. Hasilnya adalah kalung, gelang, hingga miniatur menara Eiffel dari perak murni yang kehalusannya memukau mata. Kerajinan filigree Cuttack ini telah menjadi warisan lintas generasi – para pengrajin muda belajar dari orang tua mereka, memastikan keterampilan langka ini tidak punah. Karya-karya filigree Cuttack pun telah menembus pasar global, dikagumi kolektor mancanegara dan menempatkan kerajinan tradisional India ini di peta dunia. Hal serupa terjadi di Indonesia (termasuk di Kotagede, Yogyakarta) dan beberapa negara Asia Tenggara lain, di mana teknik filigree diperkenalkan pedagang India sejak berabad lalu dan kini menjadi bagian integral budaya perhiasan lokal.
Dalam tradisi Kristen di Barat, kalung juga mengemban makna religius mendalam. Sebuah kalung salib sederhana yang tergantung di leher seseorang bisa menjadi pernyataan iman yang kuat. Sejak lama, salib dianggap simbol pengorbanan dan penebusan Kristus, sehingga mengenakannya di dada berarti membawa serta pengingat akan kasih dan pengharapan itu ke mana pun pergi. Tak heran jika kalung salib kerap diberikan sebagai hadiah baptisan atau komuni pertama, menandai ikatan spiritual pribadi pemakainya. Bagi banyak orang, mengenakan kalung berbentuk salib bukan sekadar mengikuti tren mode, melainkan ungkapan cinta, harapan, dan pengorbanan dalam tradisi Kristen sehari-hari. Dari Afrika hingga Asia, Eropa hingga Amerika, contoh-contoh di atas menegaskan bahwa kalung merupakan simbol universal yang bisa menyatukan spiritualitas, status sosial, dan identitas personal dalam untaian berarti yang sama.
Popularitas Modern & Koleksi Vintage
Photo by Dwayne joe on unsplash
Layering kalung berbagai jenis
Popularitas kalung sebagai perhiasan tak pernah benar-benar pudar – ia justru terus beradaptasi dengan zaman. Survei masa kini mencatat bahwa perhiasan adalah bagian tak terpisahkan dari keseharian banyak orang, khususnya wanita. Sekitar 87% wanita mengaku rutin memakai anting, dan 64% di antaranya selalu mengenakan kalung setiap hari. Angka yang tinggi ini menunjukkan kalung tetap menjadi favorit, bersaing tipis dengan anting sebagai jenis perhiasan yang paling digemari. Bagi generasi muda, tren layering (memakai beberapa kalung sekaligus dengan panjang berbeda) tengah naik daun – misalnya memadukan choker ketat di leher dengan kalung princess yang menjuntai di sekitar tulang selangka, ditambah kalung rope panjang yang dramatis. Variasi panjang dan layering ini memberikan dimensi baru pada gaya, memungkinkan ekspresi diri yang unik. Ada kalung tipis minimalis untuk kesan kasual sehari-hari, ada pula kalung statement besar untuk pesta glamor. Intinya, ada gaya kalung untuk setiap kesempatan dan kepribadian.
Menariknya, di era modern yang sarat teknologi ini justru muncul demam vintage di kalangan pecinta perhiasan. Kalung-kalung antik atau bergaya klasik masa lampau semakin diburu, terutama untuk momen istimewa seperti pernikahan atau pesta formal. Koleksi kalung vintage menawarkan pesona timeless yang tak lekang oleh tren, seolah menghadirkan nostalgia dan karakter tersendiri yang tidak dimiliki perhiasan produksi massal. Misalnya, kalung art deco 1920-an dengan motif geometris dan kombinasi onyx-berlian kini banyak direproduksi sebagai fashion statement. Begitu pula kalung cameo era Victorian atau kalung mutiara flapper ala 1920-an kembali digemari untuk menambah sentuhan klasik nan elegan pada busana modern. Lebih dari sekadar aksesori, koleksi kalung vintage membawa serta memori dan sejarah – memberi personal touch yang tak tertandingi tren sesaat. Banyak orang merasa memakai kalung vintage bagaikan menyimpan cerita, sehingga ada kedekatan emosional yang terjalin. Inilah sebabnya toko-toko antik dan lelang perhiasan vintage semakin populer di kalangan milenial, membuktikan bahwa nilai sebuah kalung tak hanya diukur dari kilau materi, tapi juga dari kisah di baliknya.
Dari artefak kerang prasejarah hingga runway fashion modern, kalung telah membuktikan diri sebagai simbol keindahan yang sarat makna — bukan semata hiasan kosong. Perhiasan leher ini melintasi zaman dan budaya, menghubungkan raja dan rakyat, spiritualitas dan gaya pribadi, dalam satu rangkaian yang berkilau. Untukmu yang terinspirasi sejarah panjang ini, VUE memiliki koleksi eksklusif berhiaskan lab-grown diamond yang menawarkan kilau etis nan elegan. Eksplorasi koleksi ini dan temukan perhiasan yang mencerminkan jati dirimu — mulai dari cincin, anting, hingga kalung. Selamat menikmati perjalanan mengenakan jejak sejarah di lehermu sendiri!
Baca juga: Panduan Beli Kalung Berlian Lab-Grown: 8 Tips Agar Tidak Salah Pilih
Referensi
Marples, Megan. “Humans Wore Necklaces More than 120,000 Years Ago, a New Study Finds | CNN.” CNN, 8 July 2020, https://www.cnn.com/style/article/ancient-humans-shell-necklaces-scn.
“Sussex Egyptology Society Unofficial Page | Love This Necklace of Princess Khenmet, Daughter of Amenemhat II | Facebook.” Facebook Groups, https://www.facebook.com/groups/109373389318/posts/10161849824004319/.
“Clothing in Ancient Egypt - Wikipedia.” Wikimedia Foundation, Inc., 5 May 2021, https://en.wikipedia.org/wiki/Clothing_in_ancient_Egypt.
Allaire, Christian. “Kim Kardashian Sports Princess Diana’s Attallah Cross Necklace at the LACMA Gala.” Vogue, 3 Nov. 2024, https://www.vogue.com/article/kim-kardashian-princess-diana-attallah-cross.
“India’s ‘Woven’ Jewelry Art.” Moowon, 11 Aug. 2021, https://www.moowon.com/stories/silverfiligree.
“Napoleon Diamond Necklace.” Smithsonian National Museum of Natural History, https://naturalhistory.si.edu/explore/collections/geogallery/10002696.
Allaire, Christian. “Kim Kardashian Sports Princess Diana’s Attallah Cross Necklace at the LACMA Gala.” Vogue, 3 Nov. 2024, https://www.vogue.com/article/kim-kardashian-princess-diana-attallah-cross.
“Jewelry Market Statistics (2023).” Classy Women Collection, 4 July 2025, https://classywomencollection.com/blogs/fashion-guide/jewelry-market.
“A Brief History of the Necklace | Barnebys Magazine.” Barnebys, 30 Mar. 2023, https://www.barnebys.com/blog/a-brief-history-of-the-necklace.